Jumat, 05 April 2013

Catatan Kecil Seorang Hamba



Aku hanyalah orang biasa kebanyakan. Sebut namaku Riyanto. Nama besar pemberian kedua orang tuaku yang sangat saya kagumi dan saya hormati setelah Rasululloh tentunya. Lahir disebuah dusun kecil di kaki gunung slamet sekian puluh tahun yang lalu. 25 Maret 74, seorang ibu sederhana bernama Keni melahirkanku. Ayahku seorang petani tulen bernama Sage Tarmawi. Dua orang mahluk perkasa bernama ibu dan bapak inilah yang mengasuhku hingga hari ini walau keduanya telah tiada.
Yah walaupun keduanya telah tiada, tapi setiap dengusan nafasku masih merasakan kehadiran Mereka berdua di sampingku.

Dialah Dua Malaikatku


Saya memanggilnya Biyung (banyumas) buat ibu dan Bapa untuk

bapakku. Biyungku adalah wanita sederhana asli ndesa. Tepatnya Karangreja, Kutasari, Purbalingga. Sosok sederhana ini hanya mampu lulus dari SR (Sekolah Rakyat) selevel SD dizaman ini. Itu saja luar biasa dizamannya. Bergelut dengan kemiskinan di era penjajahan belanda dan jepang tentunya menjadi tradisi. Hal yang tidak lekang kebiasaan miskin ini hingga ke orde dan rezim selanjutnya. Karena kemiskinan sepertinya sudah menjadi kata-kata salah satu iklan biskuit..."...Sudah tradisi..."

Dan Bapa'ku...ia lahir di Sokaraja tepatnya kampung Karangdadap, Kalibagor, Banyumas. Konon cerita beliau lahir sekitar tahun 1923, dan waktu tepatnya tidak ada yang tahu. Maklum belum ada berwis atau catatan kelahiran apapun sebagai rekam jejak kelahirannya. Bapa'ku buta huruf hingga tuanya. Mungkin satu hal lazim di era orde lama, karena tak pernah makan bangku sekolah. Hal yang wajar saja karena sekolah dizamannya hanya ternikmati oleh anak-anak ndoro (alias darah biru). Pun sebenarnya tak jauh beda juga dengan rezim hari ini, karena hanya beda waktu dan pelaku saja.


Menikah Tanpa Pacaran

Dua sejoli yang dilahirkan untuk berjodoh ini akhirnya dipertemukan oleh takdir-Nya. Biyung yang Purbalingga letaknya nanjak di kaki Gunung Slamet dan Bapa' yang ada di dataran rendah Kalibagor akhirnya menikah.
Syahdan, ibuku yang wong ndesa lugu dipersunting Bapa' ketika masih sangat belia. Biyungku kala itu dijodohkan oleh simbah. Budaya yang lumrah saat itu. Konon Biyung sama sekali tak mengenal sosok calon suaminya sama sekali. Saat itu bapaktelah tumbuh menjadi bujang. 

Pautan yang jauh antara umur biyung dengan bapak, menjadikan keluarga berjalan tanpa cinta. Biyung tidak ngerti apa itu suami dan siapa itu suami. Karena keduanya menikah tanpa pacaran gak layaknya anak-anak sekarang yang bodoh akan syariat, hingga lebih tenar dengan (LKMD---Lamar Keri Meteng Disit...) he he sorry sedikit nyinggung...

Berbilang waktu toh akhirnya biyung ngerti juga berumah tangga,
Hari hari terlalu bak laksana kakak dan adik saja sepasang suami istri ini. Andai dijaman itu UU pernikahan telah dijalankan, banyak mungkin bapa’ bisa terpenjara karena menikahi anak dibawah umur. Beruntunglah nasib bapa’ karena beliau bertindak tidak di eranya syeh puji…
hingga akhirnya 6 anaknya lahir ke alam bernama dunia. Mungkin inilah yang disebut Witing trisno jalaran soko kulino...(Awal mula cinta tertambat karena seringnya bertemu)
Dan hari-hari berlalu, secara fitroh toh akhirnya paham juga cara berumah tangga.

Bapakku suka sajen (sesajian untuk persembahan)

Menikah dari dua kultur yang berbeda memang penuh dengan konflik dalam perjalanan. Walau tak kental sekali dengan agama, tapi ibu lebih banyak tahu tentang konsep syariat. Sementara bapa’ yang mestinya pembimbing dan pengayom dirumah tangga, justru sering dinasehati ibu bila telah menyangkut ranah keyakinan. Hal ini karena Bapak lahir ditengah kultur kejawen yang kental.

Begitulah berumah tangga, tak selamanya wangi semerbak bak layaknya bunga ditaman-taman indah.
Tentunya konflik pun sering terjadi. Apalagi hadirnya dua sosok yang kontras pada ranah akidah.

Alkisah, suatu ketika bapa’ yang masih percaya dengan hal-hal yang mistik menyuruh ibu untuk membelikan jajanan pasar sebagai sesajian untuk dipersembahkan kepada arwah penunggu rumah.
Tentunya ibu sebagai makmum toh menurut juga sebagai bukti baktinya pada sang imam. Tapi ibu bukan ma’mum yang baik, begitu imam pergi keluar rumah, sesajian persembahannya yang telah tertata, diobrak-abrik. Weleh…seru juga nih kaya kisahnya Ibrahim yang ngancurin berhalanya si Namrud. He he he …


dan..Hidayah itupun Tiba

Merubah kepercayaan yang telah merasuk tulang dan menggurita di hati tentulah tak semudah membalik tangan. Hal lain yang pernah terjadi adalah saat kakakku yang sulung bernama Suhid sakit-sakitan. Di keyakinan bapak, Nama "suhid" adalah penyebab penyakit. Berkembang keyakinan saat itu bila anak sering sakit-sakitan, banyak mungkin karena keberaten nama. Agar anak yang sering sakit ini cepat sehat, maka satu diantara obatnya adalah merubah atau mengganti nama. "BUANG" adalah nama pilihan yang tepat untuk mengganti "SUHID". Sejak saat itu panggilan Suhid telah tereliminir dengan nama Buang agar penyakit ditubuh suhid segera terbuang. 
Keyakinan lain untuk mengobati si anak yang sakit adalah dikencingi kepalanya.....
Dibawanya Buang kecil ke kali bernama Alurjambe yang letaknya sekian puluh meter saja dari rumah. Sesampainya di kali aksi pertama yang dilakukan bapak adalah mengencingi kepala si Buang .....waduh---waduh…. Semakin seru saja nih….. Selidik punya selidik konon cerita supaya penyakitnya si Buang segera terrrBUAAANGGGG....karena kencing... he he he lucu juga ya....

Bicara hidayah, tentulah bukan pada porsi kita. Tapi bicara dakwah dan menyeru kepada kebaikan pastinya ikhtiar dan tanggung jawab kita sebagai manusia. Tak terkecuali ibu (biyung). Bak layaknya mamah dedeh, dengan sabar ia menasehati tentang hal yang nggak bener dilakukan bapa.
Manusia adalah hamba dari Alloh, segala sesuatu tentulah Alloh yang menentukannya. Yang membuat bahaya dan tidaknya sesuatu adalah yang mencipta sesuatu itu.
Akhirnya bapakku mulai dikenalkan sholat oleh ibu. Mulailah ngaji dan tersusupi akidah yang benar. Proses adalah hal yang sangat niscaya. Tarmawi Si tukang sajen dan pemuja keyakinan mulai bergeser mengenal Akidah Islam.
Satu hal paling fenomenal adalah pada saat bapak suatu ketika menghancurkan tempat sesajian besar hasil karya simbah di tengah sawah garapannya. Hal aneh yang dilakukan sepanjang hidupnya
 
Alhamdulillah..Sungguh hidayah memang harus dicari

2 komentar: