Aku hanyalah orang biasa kebanyakan. Sebut namaku Riyanto. Nama besar pemberian kedua orang tuaku yang sangat saya kagumi dan saya hormati setelah Rasululloh tentunya. Lahir disebuah dusun kecil di kaki gunung slamet sekian puluh tahun yang lalu. 25 Maret 74, seorang ibu sederhana bernama Keni melahirkanku. Ayahku seorang petani tulen bernama Sage Tarmawi. Dua orang mahluk perkasa bernama ibu dan bapak inilah yang mengasuhku hingga hari ini walau keduanya telah tiada.
Yah walaupun keduanya telah tiada, tapi setiap dengusan nafasku masih merasakan kehadiran Mereka berdua di sampingku.
Dialah Dua Malaikatku
Saya memanggilnya Biyung (banyumas) buat ibu dan Bapa untuk
Dan Bapa'ku...ia lahir di Sokaraja tepatnya kampung Karangdadap, Kalibagor, Banyumas. Konon cerita beliau lahir sekitar tahun 1923, dan waktu tepatnya tidak ada yang tahu. Maklum belum ada berwis atau catatan kelahiran apapun sebagai rekam jejak kelahirannya. Bapa'ku buta huruf hingga tuanya. Mungkin satu hal lazim di era orde lama, karena tak pernah makan bangku sekolah. Hal yang wajar saja karena sekolah dizamannya hanya ternikmati oleh anak-anak ndoro (alias darah biru). Pun sebenarnya tak jauh beda juga dengan rezim hari ini, karena hanya beda waktu dan pelaku saja.
Menikah
Tanpa Pacaran
Dua sejoli yang dilahirkan untuk berjodoh ini akhirnya dipertemukan oleh takdir-Nya. Biyung yang Purbalingga letaknya nanjak di kaki Gunung Slamet dan Bapa' yang ada di dataran rendah Kalibagor akhirnya menikah.
Syahdan, ibuku yang wong ndesa lugu dipersunting Bapa' ketika masih sangat belia. Biyungku kala itu dijodohkan oleh simbah. Budaya yang lumrah saat itu. Konon Biyung sama sekali tak mengenal sosok calon suaminya sama sekali. Saat itu bapaktelah tumbuh menjadi bujang.
Pautan yang jauh antara umur biyung dengan bapak, menjadikan keluarga berjalan tanpa cinta. Biyung tidak ngerti apa itu suami dan siapa itu suami. Karena keduanya menikah tanpa pacaran gak layaknya anak-anak sekarang yang bodoh akan syariat, hingga lebih tenar dengan (LKMD---Lamar Keri Meteng Disit...) he he sorry sedikit nyinggung...
Berbilang waktu toh akhirnya biyung ngerti juga berumah tangga,
Dua sejoli yang dilahirkan untuk berjodoh ini akhirnya dipertemukan oleh takdir-Nya. Biyung yang Purbalingga letaknya nanjak di kaki Gunung Slamet dan Bapa' yang ada di dataran rendah Kalibagor akhirnya menikah.
Syahdan, ibuku yang wong ndesa lugu dipersunting Bapa' ketika masih sangat belia. Biyungku kala itu dijodohkan oleh simbah. Budaya yang lumrah saat itu. Konon Biyung sama sekali tak mengenal sosok calon suaminya sama sekali. Saat itu bapaktelah tumbuh menjadi bujang.
Pautan yang jauh antara umur biyung dengan bapak, menjadikan keluarga berjalan tanpa cinta. Biyung tidak ngerti apa itu suami dan siapa itu suami. Karena keduanya menikah tanpa pacaran gak layaknya anak-anak sekarang yang bodoh akan syariat, hingga lebih tenar dengan (LKMD---Lamar Keri Meteng Disit...) he he sorry sedikit nyinggung...
Berbilang waktu toh akhirnya biyung ngerti juga berumah tangga,
Hari hari
terlalu bak laksana kakak dan adik saja sepasang suami istri ini. Andai dijaman
itu UU pernikahan telah dijalankan, banyak mungkin bapa’ bisa terpenjara karena
menikahi anak dibawah umur. Beruntunglah nasib bapa’ karena beliau bertindak tidak di eranya
syeh puji…
hingga
akhirnya 6 anaknya lahir ke alam bernama dunia. Mungkin inilah yang disebut
Witing trisno jalaran soko kulino...(Awal mula cinta tertambat karena seringnya bertemu)
Dan hari-hari berlalu, secara
fitroh toh akhirnya paham juga cara berumah tangga.
Bapakku suka sajen (sesajian untuk persembahan)
Menikah dari dua kultur yang berbeda memang penuh dengan konflik dalam perjalanan. Walau tak kental sekali dengan agama, tapi ibu lebih banyak tahu tentang konsep syariat. Sementara bapa’ yang mestinya pembimbing dan pengayom dirumah tangga, justru sering dinasehati ibu bila telah menyangkut ranah keyakinan. Hal ini karena Bapak lahir ditengah kultur kejawen yang kental.
Begitulah
berumah tangga, tak selamanya wangi semerbak bak layaknya bunga ditaman-taman
indah.
Tentunya
konflik pun sering terjadi. Apalagi hadirnya dua sosok yang kontras pada ranah akidah.
Alkisah, suatu ketika
bapa’ yang masih percaya dengan hal-hal yang mistik menyuruh ibu untuk membelikan
jajanan pasar sebagai sesajian untuk dipersembahkan kepada arwah penunggu rumah.
Tentunya ibu
sebagai makmum toh menurut juga sebagai bukti baktinya pada sang imam. Tapi ibu
bukan ma’mum yang baik, begitu imam pergi keluar rumah, sesajian persembahannya
yang telah tertata, diobrak-abrik. Weleh…seru juga nih kaya kisahnya Ibrahim
yang ngancurin berhalanya si Namrud. He he he …
dan..Hidayah itupun Tiba
Merubah
kepercayaan yang telah merasuk tulang dan menggurita di hati tentulah
tak semudah membalik tangan. Hal
lain yang pernah terjadi adalah saat kakakku yang sulung bernama Suhid
sakit-sakitan. Di keyakinan bapak, Nama "suhid" adalah penyebab
penyakit. Berkembang keyakinan saat itu bila anak sering sakit-sakitan,
banyak mungkin karena keberaten nama. Agar anak yang sering sakit ini
cepat sehat, maka satu diantara obatnya adalah merubah atau mengganti
nama. "BUANG" adalah nama pilihan yang tepat untuk mengganti "SUHID".
Sejak saat itu panggilan Suhid telah tereliminir dengan nama Buang agar
penyakit ditubuh suhid segera terbuang.
Keyakinan lain untuk mengobati si anak yang sakit adalah dikencingi kepalanya.....
Keyakinan lain untuk mengobati si anak yang sakit adalah dikencingi kepalanya.....
Dibawanya
Buang
kecil ke kali bernama Alurjambe yang letaknya sekian puluh meter saja
dari rumah. Sesampainya di kali aksi pertama yang dilakukan bapak adalah
mengencingi kepala si Buang .....waduh---waduh…. Semakin seru saja
nih….. Selidik punya selidik konon cerita
supaya penyakitnya si Buang segera terrrBUAAANGGGG....karena kencing... he he he lucu juga ya....
Bicara hidayah, tentulah bukan pada porsi kita. Tapi bicara dakwah dan menyeru kepada kebaikan pastinya ikhtiar dan tanggung jawab kita sebagai manusia. Tak terkecuali ibu (biyung). Bak layaknya mamah dedeh, dengan sabar ia menasehati tentang hal yang nggak bener dilakukan bapa.
Manusia
adalah hamba dari Alloh, segala sesuatu tentulah Alloh yang menentukannya. Yang
membuat bahaya dan tidaknya sesuatu adalah yang mencipta sesuatu itu.
Akhirnya
bapakku mulai dikenalkan sholat oleh ibu. Mulailah ngaji dan tersusupi
akidah yang benar. Proses adalah hal yang sangat niscaya. Tarmawi Si tukang
sajen dan pemuja keyakinan mulai bergeser mengenal Akidah Islam.
Satu hal
paling fenomenal adalah pada saat bapak suatu ketika menghancurkan tempat sesajian besar hasil karya simbah di tengah
sawah garapannya. Hal aneh yang dilakukan sepanjang hidupnya
ternyata nulis perlu berlatih,,,, dan ini salah satu ekspresi jiwa
BalasHapusbagus tulisannya
BalasHapusFreeFilm4U